Abu Al Harits Al Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman atau lebih dikenal dengan Imam Al-Laist merupakan seorang ahli ilmu. Bahkan dia mendapatkan gelar imam, hafiz, dan syaihul Islam. Ia lahir pada 94 H di desa Qarqashandah yang berjarak 20 kilometer dari kota Fustat, ibu kota Mesir pertama.
Ia juga dikenal sebagai orang yang rendah hati, penyayang kepada sesama, dan hartanya dihabiskan untuk bersedekah (dermawan), sehingga orang Mesir pada zaman itu jatuh hati kepadanya—mengingat kealiman dan kedermawanannya.
Kedermawanannya dikenal karena selalu bersedekah sedangkan kealimannya didapatkan—karena ahli ilmu fikih, dan ahli hadis—bahkan ulama-ulama sezamannya seperti Imam Syafi’i sampai bersaksi atas kehebatan ilmunya, “Al Laits lebih ahli dalam bidang fikih daripada Malik.”
Imam Al-Laist Tidak Berzakat
Ada sebuah keunikan dalam kehidupan Imam Al-Laist. Selain dikenal sebagai pengusaha yang sukses, tetapi ia tidak berzakat sama sekali. Berikut alasan dan kesaksian anaknya:
Syu’aib salah satu putra kesayangan Imam Al-Laist bersaksi atas apa yang telah diperbuat oleh ayahnya. Menurutnya, Imam Al-Laist seorang pengusaha sukses setiap tahun hartanya mencapai 20 ribu sampai dengan 25 ribu dinar. Tak terbayangkan nilainya mencapai Rp44-55 miliar. Nilai yang sangat fantastis.
Akan tetapi, yang mengagumkan dari sosok Imam Al-Laist—tidak mengeluarkan zakat sama sekali karena semua hartanya selalu dihabiskan untuk bersedekah, sehingga tidak mencapai nisab setiap tahunnya.
Imam Al-Laist dalam sebuah riwayat telah membuat rumah 20 pintu dan menafkahi orang-orang fakir, miskin. Ia juga selalu membuat harrisa manisan yang terbuat dari tepung Somalia, gula, susu, dan bahan-bahan lainnya.
Tradisi Sedekah di Mesir
Masyarakat Mesir sampai sekarang masih mempertahankan tradisi Musa’adah (bantuan) untuk siapa saja. Musa’adah ini merupakan bantuan dari orang, yayasan, atau perusahaan yang membagikan baik itu makanan, uang, barang, dan lain sebagainya.
Menurut keterangan yang disampaikan teman penulis. Masyarakat Mesir itu berbisnis 11 bulan dan di bulan Ramadhan mereka bersedekah tiada henti (berlomba-lomba dalam berkat) keberhasilannya akan dilipatgandakan oleh Allah SWT.
Selain itu, para Muhsinin undangan orang-orang untuk berbuka ditempatnya—dan informasi itu dibagikan di media sosial, sehingga banyak dikunjungi khususnya para penikmat Musa’adah yaitu mahasiswa asal Indonesia.
Bahkan, mahasiswa Indonesia mengizinkan memilih tempat tinggal selama Ramadhan di rumah orang-orang dermawan untuk menikmati sedekah yang diberikannya—tak ayal, dalam sehari para Muhsinin bisa menggunakan uang ratusan juta (hanya untuk sedekah).
Inilah kebahagiaan yang penuh berkah di bulan Ramadhan yaitu berlomba-lomba dalam kebaikan.Maka sepatutnya kita meniru tradisi Musa’adah ini di Indonesia. Selian mengundang orang-orang untuk datang ke rumah kita—kalau bisa antarkan apa yang disedekahkan kepada fakir, miskin—seperti Muhsinin di Mesir.
Hematnya, Imam Al-Laist telah meninggalkan sebuah tradisi yang luar biasa untuk masyarakat Mesir, yaitu berlomba-lomba dalam memberikan sedekah di bulan Ramadhan. Walaupun Imam Al-Laist wafat 12 abad yang lalu, tapi jasanya masih ada sampai sekarang.***
Wallahu alam
Sumber: berbagai sumber